27 Desember 2008

Krisis Finansial 2008, Rendahnya Kejujuran, Kredibilitas dan Keberpihakan

1. Peringatan yang Dicemoohkan

Krisis finansial yang terjadi saat ini bukanlah hal yang mengagetkan dan datang secara tiba-tiba . Tim Indonesia Bangkit (TIB) telah mengingatkannya berulangkali akan bahayanya financial bubbles. Bahkan ECONIT pada awal Januari 2008 ini dalam paparan ECONIT Economics Outlook 2008 menyebutkan bahwa tahun 2008 sebagai The Year of The Bubbles (tahun gelembung) yang dapat pecah sewaktu-waktu bila pemerintah tidak mengantisipasi peningkatan gelembung finansial yang semakin mengkhawatirkan tersebut . Sebagai contoh pada awal Januari 2008, jumlah emiten yang mencatat PER di atas 50 kali mencapai 51 emiten, 26 emiten diantaranya memiliki PER di atas 100 kali dan bahkan 11 emiten diantaranya memiliki PER lebih dari 300 kali. Peningkatan harga saham yang jauh melebihi kinerja fundamental tersebut merupakan gejala balon finansial.

Dalam paparan ECONIT Economics Outlook 2008 tersebut disebutkan bahwa pada tahun 2008 kemungkinan resesi di Amerika semakin tinggi, dipicu oleh kelemahan struktural ekonomi Amerika dalam bentuk defisit neraca perdagangan (US$ 850 miliar), defisit transaksi berjalan (6% GDP), dan ancaman inflasi energi. Koreksi, bahkan kemungkinan resesi, ekonomi Amerika akan punya dampak luas terhadap ekonomi Indonesia yang tengah mengalami peningkatan gelembung di sektor finansial termasuk bursa dan kredit konsumsi.

Sayangnya, peringatan tersebut tidak diantisipasi oleh pemerintah, Menko Perekonomian Boediono malah membantah kemungkinan pecahnya gelembung finansial tersebut. Demikian juga Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Rizal Ramli mengada-ada dan sekedar mencari popularitas. Akibat kesombongan dan percaya diri yang berlebihan dari menteri-menteri ekonomi SBY tersebut, pemerintah merasa terlalu percaya diri dan tidak melakukan langkah-langkah antisipatif untuk memperkuat ekonomi nasional.

Namun demikian, ketika prediksi pecahnya gelembung finansial tersebut benar-benar terjadi, pemerintah langsung panik dengan melakukan tutup-buka-tutup-buka di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kebijakan tutup-buka-tutup-buka (TBTB) tersebut, semakin menimbulkan kepanikan di kalangan bisnis. Kebijakan TBTB tersebut mempunyai dampak psikologis yang dapat lebih berbahaya.

2. Financial Bubble & Statements Bubble

Peningkatan kinerja makroekonomi Indonesia selama 4 tahun pemerintahan SBY seperti pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran dan cadangan devisa, lebih banyak ditopang oleh peningkatan ekspor yang dipicu oleh kenaikan harga komoditas di pasar dunia dan peningkatan aliran masuk modal spekulatif (hot money).

Selama 2006-2008, cadangan devisa Indonesia meningkat dramatis dari sekitar US$ 35 miliar pada akhir 2005 menjadi sekitar US$ 57 miliar pada akhir 2007 dan US$ 60,5 miliar pada akhir Juli 2008. Namun demikian, peningkatan cadangan devisa tersebut ternyata tidak didukung oleh peningkatan produktivitas dan daya saing ekspor (export competitiveness) maupun peningkatan aliran investasi langsung. Peningkatan cadangan devisa lebih banyak disebabkan oleh kenaikan ekspor akibat melonjaknya harga internasional komoditas pertambangan dan perkebunan (price driven export growth). Dari komposisi produk penyumbang ekspor, jelas terlihat bahwa kenaikan ekspor lebih banyak disumbang oleh kenaikan harga ekspor komoditi primer seperti nikel, tembaga, batu bara, CPO, dll.

Kinerja ekonomi yang lebih banyak ditopang oleh peningkatan ekspor dari kenaikan harga komoditas di pasar dunia dan peningkatan aliran masuk modal spekulatif (hot money) telah mendorong kenaikan harga saham sangat tinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan sektor properti komersial. Indeks Harga Saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meningkat dramatis. Pada tahun 2007, kenaikannya mencapai 52%. Peningkatan Indeks harga saham sebagian disebabkan oleh tingginya harga komoditas internasional (25%-30% nilai bursa) yang mendorong peningkatan keuntungan pada emiten perkebunan dan pertambangan. Investor bahkan tidak lagi mengindahkan kondisi fundamental dari emiten-emiten yang ada di BEI.

Secara cepat dan pasti, sejak tahun 2007 mulai terbentuk balon finansial (financial bubble) yang semakin menggelembung pada tahun 2008 seperti di pasar modal, kredit konsumsi, seperti kredit sepeda motor, kartu kredit, properti komersial, mulai terbentuk gejala sejenis subprime lending. Aliran modal spekulatif telah menggelembungkan nilai aset finansial dan memperkuat nilai tukar rupiah. Namun demikian, ketika terjadi arus balik seperti yang terjadi pada bulan Oktober 2008 ini, nilai aset finansial dan nilai tukar rupiah terperosok cukup signifikan.

Di sisi lain, kenaikan nilai aset finansial yang sangat tinggi justru memperlambat perkembangan sektor riil. Sebab, jika tingkat return di sektor finansial jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat return di sektor riil, pemilik modal akan cenderung melakukan investasi di sektor finansial dibandingkan sektor riil. Akibatnya, kesenjangan antara sektor finansial dengan sektor riil semakin melebar. Sektor finansial terus menggelembung, sementara sektor riil semakin terpuruk, sehingga terjadi missing link antara perkembangan sektor finansial dan sektor riil .

Menurut Economic Outlook 2008 hal 4-5: Kontradiksi kinerja indikator finansial yang sangat baik dengan perlambatan sektor riil dan percepatan de-industrialisasi sektor manufaktur merupakan perkembangan yang berbahaya. Perbaikan kinerja indikator finansial sangat vulnerable jika tidak didukung oleh perbaikan produktivitas, daya saing dan investasi riil, karena yang terbentuk akhirnya hanya balon-balon finansial (financial bubbles) yang akan terus menggelembung sebelum akhirnya kempes secara perlahan atau mendadak. Jika balon finansial tersebut kempes secara perlahan, ekonomi akan mengalami soft landing dengan dampak relatif minimum. Tetapi jika balon finansial tersebut kempes secara mendadak, akibat shock eksternal maupun internal, maka ekonomi akan mengalami hard landing dengan dampak yang lebih luas dan kompleks.

Peningkatan gelembung di sektor finansial telah mengakibatkan pertumbuhan besar-besaran di sektor properti komersial selama lima tahun terakhir. Namun demikian, kemajuan pesat di sektor properti komersial tersebut ternyata tidak diikuti dengan kenaikan permintaan sehingga terjadi over-supply dan penurunan tingkat hunian. Pasokan properti komersial terus meningkat, tetapi aliran investasi langsung beberapa tahun terakhir tidak tumbuh signifikan. Pada tahun 2007, investasi bruto dalam GDP hanya tumbuh sekitar 8%. Jika terjadi koreksi balon finansial dan sektor properti komersial, maka akan terjadi konsolidasi lebih lanjut sektor properti. Pengembang-pengembang yang memiliki kekuatan finansial dan manajemen resiko yang lebih baik akan survive ketika terjadi koreksi properti komersial.

Statements Bubble

Kinerja ekonomi makro yang seolah “kuat” karena ditopang oleh faktor eksternal, yaitu hanya komoditas, financial bubbles malah diklaim sebagai keberhasilan pemerintah. Selama ini pemerintah berulangkali mengeluarkan publikasi, pernyataan dan klaim bahwa ekonomi sudah on the track, fundamental ekonomi kokoh dan lain sebagainya. Namun ketika gejolak ekonomi terjadi ternyata bahwa “kekuatan” tersebut sangat rapuh dan dengan cepat pemerintah menyalahkan faktor eksternal sebagai penyebabnya.

Pada ECONIT Economic Outlook 2008 hal 5 dituliskan bahwa “Pemerintah SBY akan semkain aktif mengeluarkan pernyataan balon (bubble statements) pada tahun 2008, dalam bentuk pernyataan PR yang super-optimis dan tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di sektor riil dan masyarakat. Jika sibuk membuat pernyataan balon, sulit mengharapkan pemerintah fokus pada penyelesaian masalah yang riil”.

Beberapa statements bubbles yang kami catat diantaranya seperti klaim kokohnya fundamental ekonomi. Padahal fundamental ekonomi tidak dapat dikatakan kokoh tanpa dukungan kuatnya sektor riil. Selama pemerintahan SBY justru telah terjadi kemerosotan di sektor riil dan telah terjadi percepatan de-industrialisasi.

Statements bubble yang cukup fenomenal adalah klaim bahwa telah terjadi pengurangan kemiskinan dan klaim bahwa kenaikan BBM akan mengurangi kemiskinan. Klaim terjadinya pengurangan pengangguran saat itu direkayasa dengan melakukan perubahan waktu survey dari bulan Februari ke bulan Juni 2008 pada puncak masa panen raya. Demikian juga perubahan angka kemiskinan belakangan ini terjadi dengan cara mengubah methodologi. Berbagai rekayasa prestasi kinerja ekonomi ala pemerintah SBY dengan akrobat statistik semakin mengurangi kredibilitas pernyataan pemerintah sehingga dikenal apa yang disebut sebagai “SBY-GAP” yaitu perbedaan antara klaim kinerja dan realita dilapangan yang dihadapi rakyat dan sektor riil.


3. Tidak adanya Keberpihakan dan Rendahnya Kredibilitas Respon Kebijakan

Mencermati respon kebijakan Pemerintah SBY selama beberapa minggu terakhir yang sangat tidak memadai untuk menghadapi dampak global, Tim Indonesia Bangkit (TIB) kembali mendesak pemerintah SBY untuk segera merubah haluan kebijakan ekonomi dengan meninggalkan jalur (track) kebijakan ekonomi neoliberal yang hanya berpihak kepada sekelompok elit pemilik modal dengan kebijakan ekonomi yang lebih pro aktif, di sisi moneter, fiskal, industri keuangan, perdagangan dan sektor riil, serta lebih berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Langkah ini harus dilakukan untuk menghindarkan Indonesia dari kemerosotan ekonomi yang lebih cepat (hard landing).

Sangat disayangkan Tim Ekonomi SBY asal membantah berbagai peringatan dini atas krisis sehingga praktis tidak ada langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah SBY. Saat ekonomi Indonesia mulai bergejolak, Pemerintah SBY panik seolah dampak resesi AS dan bubble keuangan tersebut muncul tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Bahkan respon yang dipilih oleh Pemerintah SBY pun lebih berpihak kepada kepentingan asing dan sarat conflik of interest. Kenyataan ini sesungguhnya sama sekali tidak mengejutkan bila kita flashback dan membuka kembali paper TIB 19 April 2005: “Tim Ekonomi: Tidak Mengabdi Kepada Kepentingan Rakyat”, yang memprediksi bahwa arah kebijakan ekonomi Pemerintah SBY-JK dipastikan akan sangat dipengaruhi oleh komposisi tim ekonomi yang dipenuhi oleh mereka yang akan menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing dan tunduk pada garis IMF/Bank Dunia serta para pengusaha pemburu rente.

Pertama, Pilihan Bank Indonesia dan Pemerintah SBY untuk melakukan kebijakan uang ketat (tight money policy) menunjukkan bahwa Pemerintah SBY tidak belajar dari pengalaman krisis tahun 1998 dan masih tunduk pada resep IMF/Bank Dunia meskipun telah gagal dan terbukti mengakibatkan krisis moneter tahun 1998 berubah menjadi krisis ekonomi yang lebih luas.

Meskipun kondisi makroekonomi Indonesia sampai Agustus 1997 masih terkendali, namun karena IMF menyarankan Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pengetatan uang, maka Menteri Keuangan Marie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Soedrajad segera melakukan kebijakan moneter super ketat pada September dan Oktober 1997. Kebijakan tersebut akhirnya memporakporandakan sektor keuangan Indonesia. Bank-bank yang seret likuiditas terpukul oleh suku bunga inter bank dari belasan persen menjadi puluhan persen. Beberapa bank yang awalnya sehat mengalami kesulitan likuiditas menjadi kolaps dan akhirnya terjadi rush bank. Kebijakan yang membahayakan lainnya adalah saran IMF untuk menutup 16 bank bermasalah tanpa persiapan yang memadai. Langkah ini akhirnya berakibat fatal yakni mendorong ekonomi Indonesia mengalami hard landing sepanjang 1998 sehingga pertumbuhan ekonomi anjlok -13,4%.

Sayangnya, saran IMF yang telah terbukti menyesatkan, kembali dipatuhi oleh Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga awal Oktober 2008. Meskipun hampir semua negara seperti AS, Eropa, Cina, Jepang, Malaysia, dll mengambil langkah untuk menurunkan tingkat suku bunga untuk mengantisipasi kekeringan likuiditas, Gubernur Bank Indonesia Boediono dengan didukung Menteri Sri Mulyani justru memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga karena dua bulan sebelumnya IMF telah menyarankan Indonesia untuk segera meningkatkan suku bunga. Langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga membuktikan Menteri Keuangan SBY-JK dan Gubernur Bank Indonesia yang juga mantan KIB, tidak belajar dari kesalahan masa lalu, tidak mampu mencari kebijakan terobosan dan menunjukkan watak aslinya yang sangat mendukung saran IMF meskipun terbukti telah menjerumuskan Indonesia pada tahun 1998.

Langkah ini dipilih untuk menjaga arus modal dan mengkompensasi penerimaan yang terpangkas akibat turunnya harga berbagai komoditas di pasar global. Pilihan untuk menjaga suku bunga tinggi ini seolah pilihan yang tepat. Padahal kebijakan ala IMF ini justru akan berakibat fatal bagi pereonomian secara luas. Suku bunga kredit meningkat dan telah dimulai dengan terjadinya perang bunga. Beban para peminjam akan meningkat dan kalangan bisnis tidak akan mungkin menerbitkan surat utang kecuali dengan bunga yang sangat tinggi. Langkah inilah yang pada akhirnya juga akan mendorong anjloknya ekonomi Indonesia.

Kedua, Langkah Tim Ekonomi SBY yang menyiapkan dana pemerintah sebesar Rp 4 triliun dan mendorong BUMN untuk segera melakukan buy back saham untuk mengangkat sementara harga saham, menunjukkan keberpihakan Pemerintah SBY yang lebih besar pada investor asing ketimbang pada rakyat banyak. Langkah ini bahkan berpotensi mendorong terjadinya penyalahgunaan dana publik dan kemungkinan akan menjadi kasus BLBI jilid II.

Tim Ekonomi SBY mendorong BUMN melakukan buy back hingga 50% yang dapat dilakukan tanpa RUPS menunjukkan watak asli dari Kabinet Indonesia Bersatu yang lebih mengutamakan untuk melindungi kepentingan hedge fund asing dan elite finansial dibanding membuat kepentingan pemain dipasar modal Indonesia, lebih dari 60% dikuasai oleh investor asing sehingga langkah memprioritaskan dana BUMN dan anggaran pemerintah untuk melakukan buy back berarti mendahulukan pemanfaatan dana rakyat untuk mem-bail out investor asing. Dana yang seharusnya diprioritaskan dapat dipergunakan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi UKM dan memacu sektor riil malah dialihkan untuk melindungi spekulan.

Berbagai sumber dana pemerintah baik di BUMN maupun anggaran seharusnya dimanfaatkan sebesar-besar untuk menciptakan lapangan kerja dan memacu penguatan sektor riil yang menyangkut penciptaan lapangan kerja baik untuk pembangunan infrastruktur, ekonomi pedesaan, penyelamatan industri-industri strategis yang kompetitif dan padat karya, akan mendorong ekonomi domestik menjadi lebih kuat.

Ketiga, Respon kebijakan yang sumir akan menurunkan kredibilitas. Setelah melalui kuliah panjang, ternyata tidak ada rumusan policy yang implementatif tetapi hanya berupa 10 arahan dan himbauan, bukan rencana tindak yang mampu menciptakan optimisme bagi masyarakat luas. Sebagai contoh anjuran untuk meningkatkan sektor riil. Selama 4 tahun Pemerintahan SBY tidak mampu mendorong sektor riil. Bahkan yang terjadi adalah percepatan de-industrialisasi. Saat ini kesempatan Pemerintah SBY tinggal setahun lagi, sehingga akan sangat sulit untuk memperkuat sektor kecuali tim ekonomi SBY mau melakukan perubahan arah kebijakan ekonomi. Bila Menteri Perdagangan masih sangat percaya pada pasar bebas sehingga rata-rata tarif di Indonesia sekitar 0%-3%, maka himbauan Presiden SBY untuk meningkatkan penggunaan produk-produk dalam negeri akan tetap menjadi sekedar himbauan.

Dengan perlambatan ekonomi dunia, ekspor produk Cina ke AS dan Uni Eropa akan menurun. Kelebihan kapasitas produk Cina tersebut pasti akan dialihkan untuk membanjiri pasar-pasar negara berkembang yang sangat liberal seperti Indonesia. Dengan demikian dipastikan produk dalam negeri akan mengalami tekanan jauh lebih besar. Saat ini saja 70% pasar garmen Indonesia dikuasai produk legal dan ilegal dari Cina, maka himbauan SBY, tanpa keberpihakan kebijakan perdagangan, tidak akan membantu industri garmen nasional.

Sebagai contoh batik buatan Cina, biaya produksinya 60% lebih murah dari batik produksi dalam negeri Indonesia. Dengan dukungan teknologi desain, batik imitasi ini hasilnya akan bisa lebih bagus. Konsumen tentu akan memilih barang bagus dan juga murah. Bila menghadapi tantangan itu yang dilakukan Pemerintah SBY hanya menghimbau, maka tidak akan efektif dan industri batik kita akan semakin terpukul. Seharusnya pemerintah melindungi industri padat karya dengan tarif, sehingga produk impor tidak mendominasi pasar Indonesia. Sayangnya, ideologi kabinet Presiden SBY tidak mempercayai strategi ini dan lebih percaya pada mekanisme pasar bebas ugal-ugalan. Jadi, jangan berharap industri padat karya akan menjadi lebih baik dan sektor riil akan lebih kuat.

TIM BANGKIT INDONESIA (Jakarta, 13 Oktober 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar